CATAHU 2020 Darurat Kekerasan Seksual : Belum Ada Payung Hukum yang Jelas

Setiap hari, setidaknya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat hampir 8 kali lipat. 

 

CATAHU 2020 mencatat kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani sepanjang tahun 2019 naik 6% dari tahun sebelumnya sebanyak 431.471 kasus. UPPA menempati urutan pertama sebagai lembaga penerimaan laporan tertinggi sebanyak 4.124 kasus. Ini mengartikan bahwa masyarakat memerlukan lembaga atau institusi yang legal dan memiliki payung hukum yang jelas

Sementara itu, Jawa Barat menjadi provinsi dengan angka kekerasan tertinggi terhadap perempuan, sebanyak 2.738 kasus. Perlu diketahui bahwa rendahnya angka kekerasan terhadap perempuan di Provinsi tertentu bisa disebabkan oleh tidak adanya lembaga atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga yang tersedia bagi korban.

Kekerasan terhadap Anak Perempuan (KTAP) bahkan naik 65% menjadi 2.341 kasus. Inses menjadi bentuk kekerasan terhadap anak perempuan dengan jumlah terbanyak, sebesar 770 kasus dan disusul oleh kekerasan seksual sebanyak 571. 

 

Berdasarkan CATAHU 2020 diperoleh hasil pencatatan kekerasan terhadap perempuan dalam tiga ranah :

1) Ranah personal/privat

Dalam ranah personal, tercatat sebanyak 11.105 kasus dan didominasi oleh kekerasan fisik sebanyak 4.783 kasus, disusul oleh kekerasan seksual sebanyak 2.807 kasus yang bentuk terbanyaknya adalah inses (822 kasus). Pelaku inses tertinggi adalah ayah dan paman dan paling banyak dilaporkan ke P2TP2A. Sementara itu, untuk pelaku kekerasan seksual terbanyak adalah pacar (konsisten) sehingga pendidikan seksualitas dinilai penting untuk mengurangi jumlah pelaku dan korban yang rata-rata berusia muda.

2) Ranah publik/ komunitas

Dalam ranah publik, tercatat sebanyak 3.602 kasus kekerasan didominasi oleh kekerasan seksual sebanyak 2.091 kasus. Bentuk kekerasan yang paling banyak tercatat adalah perkosaan sebanyak 715 kasus dan pelaku tertinggi adalah orang tidak dikenal. Namun, bila dilihat dari keseluruhan data pelaku, orang yang dikenal di komunitas seperti guru, teman dan tetangga tetap mendominasi.

3) Ranah negara 

Tercatat sebanyak 12 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam ranah negara. Kasus di ranah Negara terbagi menjadi dua yaitu pelanggaran terhadap kewajiban negara yang dilakukan dengan perbuatan nya sendiri (negara menjadi pelaku langsung). Lalu yang kedua adalah pembiaran-tindakan untuk tidak melakukan apapun yang berarti melanggar kewajiban negara (pelanggaran hak dasar, kesulitan mengakses hak kesehatan berkaitan dengan BPJS dan pelanggaran hak administrasi kependudukan).

 

Selanjutnya, hasil uraian formulir pendataan kekerasan oleh Komnas Perempuan terhadap komunitas minoritas seksual, perempuan dengan disabilitas, perempuan rentan diskriminasi (HIV/AIDS) dan WHRD (Perempuan Pembela HAM) sebagai berikut :

1) Jenis kekerasan yang mendominasi komunitas minoritas seksual masih seperti tahun sebelumnya, yakni kekerasan seksual (perkosaan, pemaksaan orientasi seksual, pelecehan seksual dan pemaksaan perkawinan)

2) Tercatat 87 kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas pada tahun 2019 (cenderung tetap) dan didominasi kasus perkosaan yang pelakunya banyak tidak teridentifikasi oleh korban.

3) Sebelas kasus perempuan rentan diskriminasi (HIV/AIDS) yang dipublikasikan bersumber dari lembaga pemerintahdidominasi kasus di ranah KDRT/personal dengan pelaku suami dan keluarga.

4) Tercatat 5 kasus kekerasan dialami Perempuan Pembela HAM yang terjadi kepada para pendamping korban(menyangkut isu perempuanisu lingkungan, kemiskinan, dan Papua)

5) Terdapat 145 kasus femisida (pembunuhan terhadap perempuan karena dia perempuanyang diberitakan media daring. Kasus tertinggi tercatat di awal tahun, yakni Januari (24 kasus) dan akhir tahun bulan Desember (21 kasus)Lima peringkat teratas untuk klasifikasi data relasi pelaku dengan korban adalah suami. Hal ini menunjukkan, sebagian besar kasus femisida dilakukan oleh suami terhadap istri (Kekerasan Terhadap Istri/KTI). Relasi personal pelaku dengan korban lainnya adalah pacar yang diidentifikasikan sebagai bentuk Kekerasan dalam Pacaran (KDP). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa relasi pelaku dengan korban sebagian besar masih berada dalam ranah relasi personal (pasangan atau kerabat dekat).

Sementara itu dalam tiga tahun terakhir, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) meningkat berupa ancaman dan intimidasi penyebaran foto/ video dengan konten pornografiMirisnya lagi, minimnya kapasitas lembaga layanan dalam penanganan kasus KBGO menyebabkan adanya kesulitan mencari lembaga penerima rujukan layanan KBGO. Padahal, perempuan korban KBGO rentan dikriminalkan menggunakan UU ITE dan UU Pornografi. 

Adanya peningkatan kasus kekerasan seksual yang kompleks dan tidak diimbangi dengan undang-undang yang jelas serta tidak adanya jaminan hak-hak korban dan reviktimisasi selama menempuh jalur hukum menjadi alasan pentingnya keberadaan payung hukum yang melindungi korban. 

#SahkanRUUPKS

Sumber: CATAHU 2020. Dalam https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/catahu-2020-kekerasan-terhadap-perempuan-meningkat-kebijakan-penghapusan-kekerasan-seksual-menciptakan-ruang-aman-bagi-perempuan-dan-anak-perempuan-catatan-kekerasan-terhadap-perempuan-tahun-2019

Komentar